Sabtu, 02 Oktober 2010

Dari isi Buku Kumpulan Cerpen Bau Bayi Terapiku

BERBICARA DENGAN BATU  
(Rencana diangkat ke layar kaca akhir Maret 2011)

Batu siapa itu berbicara?, tujuh belas tahun sudah dia memandangnya lama, mengelusnya, menimang-nimang bagai bayi baru lahir, dibiarkannya dia menangis diatas batu.
Seperti hari-hari kemarin yang lalu, diapun mengelus batu dengan air bunga, “Agar wangi saat kau menghadiri pesta” ucapnya, “Setelah itu kita akan bercumbu, seperti yang aku suka” Matanya masih lekat pada batu, juga orang lain melihatnya.
Suatu hari ia bersemangat, wajahnya bersinar seperti lelaki perkasa, hanya sedikit lebih pendek langkahnya, ia membawa selendang seperti sewindu silam saat dia menari, sepertinya mulutnya komat-kamit berbicara dengan batu, tanganya juga mencerabuti rumput liar disekitarnya membuatnya bersih untuk bersila. Dia kalungkan selendang pada batu dalam satu ikatan yang tak akan terlepas, “Kau cantik hari ini, ya… cantik sekali” sambil menghentak-hentakkan kaki ke bumi dan tertawa berjalan berkeliling diantara batu-batu dan menandak (*1).
Gila, batin orang-orang yang melihatnya, sama gilanya jika harus menghentikan. Ia tertawa-tawa sambil mengusap batu, Ia selalu merawat batu, sulit menukarnya dengan batu lain, karena batu itu ia lewati dengan perahu, “Setiap batu yang kau injak dengan kakimu sudah aku berikan, tapi jangan batu yang satu ini” ucapnya dengan wajah yang beku, hanya butiran bening dimatanya jatuh menetes membasahi tanah dan batu disekelilingnya yang telah meresap darah.
Lalu ia memberi aba-aba layaknya seorang komandan mempersiapkan prajuritnya, wajahnya lurus kedepan namun kosong, ia hentakkan kaki ke bumi “Maju jalan!”, pergilah ia ke pasar-pasar juga trotoar yang menjadi rute perjalanannya, kemudian ia sudah duduk begitu saja dekat keranjang sampah mengorek-ngorek mencari makanan sisa, ada lalat, ditangkapnya dan di kremus (2) dengan lahapnya
Suatu ketika pernah aku melihat, ia melakukan gerakan-gerakan sembahyang, saat sholat Jum’at digelar di Masjid Jami’, semua jama’ah diam tak mau mengusik atau mengusirnya, semua memperhatikan pada barisan panjang, ada yang beringsut menjauh takut ada batu yang menimpuk, sebab kemanapun ia pergi selalu membawa batu.
Selama khotbah berlangsung, ia pun berbicara dengan batu, semua membiarkan saja, “Kita juga butuh hiburan dimanapun tempatnya”. ucap salah satu jama’ah berbisik kepada rekan di sampingnya.  “Kau tak akan percaya, tetapi batu-batu ini memang berbicara padaku” ucapnya pada anak-anak yang tak jauh darinya.
Maka ia berulah liar berdiri berkacak pinggang, semua jama’ah melihat padanya, juga pengkotbah, semua buyar, sholatpun buyar, dia mengamuk berteriak dengan kencang hanya gara-gara batunya disentil oleh Bimo yang suka jail.
Dia terus berputar-putar, menggulung-gulung lalu menghempaskannya ketepian jalan, “Batu-batu ini akan membinasakan kalian” sambil berteriak ia lemparkan batu itu ke kaca, setiap apa saja yang ia temui. Semua buyar, sholat Jum’at pun tak pernah usai.
***
Hati-hati sekali ia berjalan menuju tempat batu, meraba-raba mencari cahaya, tertatih-tatih sepertinya ia telah menyelesaikan perjalanan beribu mil jaraknya, lalu ada tangisan saat ia sampai pada batu yang dituju, erangan-erangan memenuhi udara, ada jerit kesakitan “Maafkan aku, aku tak dapat menjagamu hingga kau terusik” ia ucapkan sambil mengelus batu dan menimangnya bagai bayi baru lahir, diciumnya batu itu bersama raungan histeris yang tak putus-putus.
“Batu, kembalikan batuku!”, suaranya begitu menggema berulang-ulang bergelombang meninggalkan pedih yang perih. Kini tenaganya tinggal tersisa, wajahnya beku tak bercahaya dengan gelombang pasang surut yang panjang, didekapnya batu bersama kebekuan hawa dingin yang menyelimuti.
Sejak peristiwa itu, ia selalu bersembunyi dibalik rerimbunan pohon bersama kalimat-kalimat yang tak jelas diucapkan. Ia selalu mengamati curiga kepada bumi, matahari, langit, dan rembulan yang selalu membawa pekat. Setiap orangpun mulai bertanya kemana gerangan ia yang selalu melintasi pasar dan trotoar dengan kata-katanya gagap dengan tubuh meremang bergetar. Mereka semua bertanya  dikeheningan musim dingin, mereka merasa ada keberadaannya, tapi mereka tidak yakin ia benar-benar ada.
Saat kelam merangkai malam, ia merunduk-runduk sambil menyeret kakinya yang sedikit luka, ia kembali berbicara dengan batu dibawah sebuah pohon yang meranggas, “Aku akan selalu bernyanyi” ucapnya sambil menimang-nimang batu, diamatinya beberapa saat, pasti seorang bayi yang mungil, pikir orang-orang yang baru saja melihat, memang mata selalu menerbangkan pandangan, juga kenangan yang selalu menyelimuti dirinya.
Tak ada yang menghentikannya sekarang, saat ia tertawa terbahak-bahak sampai berlinang air mata sampai ia memusnahkan air matanya sendiri.
“Sunyi… sepi…” hanya suara itu yang sering terdengar dan memanggilnya, demikian dulu perempuan hidup bersamanya bertahun-tahun, yang menempati hati dan mengecup semua lukanya setiap saat, namun kini tak sekalipun memanggilnya, perempuan yang selalu membuatnya sadar, perempuan yang selalu melahirkan generasi selanjutnya, sosok perempuan itu sekarang telah melayang dalam pandang.
Wajahnya kini kembali merona kala melihat kembang-kembang mencair bagai darah “Aku tahu, kau suka bunga-bunga” ia berkata pada batu, tapi ia tidak segera memetik untuk diselipkan pada batu, hanya berhenti dan bergelinjang dalam pikiran yang kerdil. Kau tahu mengapa ia tidak segera memetiknya?, sebab ia takut bayangan perempuannya akan pupus bersama kelam pada malam terakhir saat bersamanya. Jadi jangan kau tanya kemana perginya, mereka telah mencerabut itu semua dari dirinya dan menenggelamkannya.
Lelaki itu berpaling dan menatap segerombolan Polsus menghampiri dari berbagai penjuru, bagai kumpulan anak-anak menyongsong ayah yang datang menjemput mereka dari sekolah.
Mereka dengan mata menyala menggamit lengannya, dan dalam sekejap ia berada di sebuah kotak yang berjeruji, ia dapat merasakan gedung-gedung yang runtuh dan tubuh-tubuh yang pecah membentuk kepingan yang hampir sama di udara. Dari kejauhan ia mendengar berbagai jeritan, suara-suara ledakan, tangisan bayi dan lirih para orang gila memanggil tuhannya, ia juga mencium bau gosong dan merasakan geliat resah para penghuninya.
Ia saat ini berada di tempat yang jauh dari kota, sesaat ia merasakan angin yang kencang menampar-nampar wajahnya, entah dia kurang tahu dari mana datangnya. Inilah tempat perkumpulan orang-orang gila, sering orang-orang mengatakan rumah sakit jiwa, maka bernyanyilah ia dengan musik batu yang dihantam-hantamkan, tak…tak…tak…tak…tak…tak… pyaarrrrrrr………….. Sekarang tidak lagi ia berbicara pada batu, batu itu hancur karena dihantam-hantamkan sebagai musik penghantar malamnya yang dingin dan beku. ***  tri_ir  Sang Bau Bayi Terapiku


Catatan Kaki :
1.        Menandak : Menari
2.        Kremus : Dikunyah

2 komentar:

  1. Semoga Mendapatkan Inspirasi Positif Yg Lebih Bagus & Semoga Sukses

    BalasHapus
  2. Nakasih, Pak atas kunjungannya, semoga menjadi wacana yang dapat menggugah inspirasi kita semua, Amin ya robbal alamin

    BalasHapus